Sabtu, 09 Januari 2010

Pengembangan Model Pembelajaran Apresiasi Sastra Berbasis Quantum Learning di Sekolah Dasar

Pembelajaran apresiasi sastra dapat mengantarkan anak didik ke dalam kemampuan berbahasa sampai
pada tataran apresiasi, ekspresi, dan kreasi. Kekuatan karya sastra terletak pada pesan yang terkandung di
dalamnya. Pesan yang disampaikan melalui karya sastra kuat dan lebih bersifat abadi jika dibandingkan
dengan pesan secara harfiah. Terlebih lagi pada masa kini fenomena hilangnya tradisi bercerita
(mendongeng), yang pada masa lalu dilakukan oleh kaum ibu sambil meninabobokkan anaknya di tempat
tidur, saat ini anak-anak diperkenalkan dengan karya sastra hingga ke alam mimpi. Dengan fenomena
hilangnya tradisi tersebut, maka pada masa kini, wahana perkenalan anak-anak dengan karya sastra
diharapkan dapat terwujud melalui pembelajaran apresiasi sastra. Penelitian ini bermaksud menyajikan
sebuah model untuk perbaikan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar yang selama ini menjadi
sebuah pembelajaran tentang ilmu sastra dengan ditandai dengan fenomena penyajian pengetahuan tentang
sastra dalam porsi yang besar kepada murid sekolah dasar. Fenomena tersebut menyebabkan apresiasi
sastra menjadi pembelajaran yang sukar dan tidak diminati murid. Hasil penelitian ini diharapkan akan
mewujudkan pembelajaran apresiasi sastra sesuai dengan hakikatnya. Hakikatnya dalam pembelajaran
apresiasi sastra murid berhak mendapatkan kepuasan dan kekaguman. Namun, selama ini hal itu tidak
pernah diperoleh murid. Gejala ini muncul karena kurangnya guru akan model pembelajaran. Pemilihan
quantum learning dalam pembelajaran apresiasi sastra ini diharapkan dapat menjawab persoalan tersebut.
Penelitian ini secara metodologis dekat dengan penelitian pengembangan yang berbentuk riset operasional.
Penelitian ini berorientasi pada pengembangan produk berbentuk model pembelajaran. Secara prosedural,
penelitian ini melalui tahapan: (1) studi pendahuluan; (2) tahap pengembangan; (3) tahap pengujian model;
dan (4) dimensi hasil akhir berupa penerbitan buku pedoman bagi guru untuk pembelajaran apresiasi sastra
di sekolah dasar berbasis quantum learning. Hasil yang ditemukan dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, dari studi pendahuluan ditemukan permasalahan dan kebutuhan guru dan murid yang berkaitan
dengan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dasar. Kebutuhan yang harus segera dipenuhi dalam
pembelajaran apresiasi sastra adalah silabus pembelajaran apresiasi sastra RPP, dan alat evaluasi.
Kebutuhan murid adalah pembelajaran apresiasi sastra yang mudah dipelajari dan menyenangkan. Kedua,
tahap pengembangan yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah upaya untuk menciptakan pembelajaran
apresiasi sastra berbasis quantum learning di sekolah dasar dengan cara menggunakan variasi
pembelajaran, media, dan memberi pengertian kepada guru tentang model pembelajaran apresiasi sastra
yang dapat membangkitkan rasa senang bagi murid yaitu dengan pembelajaran apresiasi sastra berbasis
quantum learning. Prototype model berupa perangkat pembelajaran yang berbentuk silabus pembelajaran
apresiasi sastra RPP, dan perangkat evaluasi. Pengembangan Prototype model menjadi model ini berbentuk
model prosedural. Model prosedural yang dikembangkan mengutamakan bentuk prosedur pembelajaran
apresiasi sastra yang mengacu pada hakikat quantum learning. Pengembangan dilakukan dengan expert
judgement, uji coba terbatas, dan uji coba yang lebih luas di lapangan. Hasil pengembangan Prototype
model menjadi model berdasarkan expert judgement menyatakan bahwa model silabus yang dirancang
mengacu pada pedoman penyusunan silabus yang berlaku dan relevan dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), RPP dan evaluasi sesuai dengan hakikat quantum learning. Di dalam RPP, skenario
pembelajaran mengikuti prosedur TANDUR (tumbuhan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan).
Evaluasi pembelajaran disusun dalam bentuk yang menyenangkan, dengan permainan, dan format
tanggapan guru dan orang tua murid. Ketiga, tahap pengujian model berdasarkan uji coba tersebut di
lapangan yang dilakukan di dua SD di Surakarta menghasilkan model untuk pembelajaran puisi, cerita,
maupun drama yang layak untuk diterapkan sebagai model. Dikatakan layak karena memenuhi kriteria
interaksi edukatif berdasarkan Classrom Guidance Schedule. Pengembangan model berdasarkan uji coba
yang lebih luas di lapangan, dilaksanakan di enam SD dengan jumlah sampel 120, dan mendapatkan hasil
bahwa model ini dapat meningkatkan kompetensi bersastra murid SD secara signifikan. Signifikan yang
dimaksud adalah berdasarkan perbandingan hasil skor pretes dan postes. Uji keefektifan model dilakukan
dengan eksperimen terhadap 240 murid dari enam SD. Dari hasil uji keefektifan ini disimpulkan bahwa
kompetensi bersastra murid yang mengikuti pembelajaran apresiasi sastra dengan model quantum learning
lebih baik daripada murid yang mengikuti pembelajaran model sastra secara konvensional. Perbedaan ini signifikan, sehingga menandakan penerapan model quantum learning dalam pembelajaran apresiasi sastra
lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran apresiasi sastra secara konvensional di sekolah dasar.
Keempat, tahap diseminasi dilakukan dengan menerbitkan artikel hasil penelitian di jurnal ilmiah nasional,
mempresentasikan hasil penelitian dalam seminar nasional, dan menerbitkan buku pedoman pembelajaran
apresiasi sastra berbasis quantum learning setelah dilakukan uji keberterimaan model melalui focus group
discussion. Keberterimaan model berdasarkan tanggapan stakeholders meliputi tanggapan pengambilan
kebijakan, guru, murid, dan orang tua murid. Tanggapan pengambil kebijakan pendidikan, guru, murid, dan
orang tua murid semuanya positif. Tanggapan positif ini akan dapat mendatangkan manfaat yang besar bagi
keberlangsungan penerapan pembelajaran apresiasi sastra berbasis quantum learning di sekolah dasar
pada masa mendatang.

Metode Belajar

Metode belajar anak SD kebanyakan disampaikan secara klasikal, belajar teori, teori dan teori. Padahal, beberapa pelajaran bisa disampaikan secara praktik, yang hasilnya pasti lebih memuaskan. Benarkah?

"Nina.. ayo bangun sayang, sudah jam berapa ini? Hari ini kamu kan masuk pagi,"ujar Kasih ( 33 tahun ) sambil menguncang bahu putrinya.

Dengan malas Nina( 8 tahun ) bangun. "Mam, boleh nggak kalau aku nggak masuk hari ini, aku bosen sama pelajaran di sekolah, nggak asyik belajarnya," kata Nina malas-malasan.

Malas-malasan sekolah banyak dialami anak-anak mulai kelas 3 SD. Tentu saja banyak faktornya, tapi coba cermati salah satunya. Bisa jadi metode belajar anak di sekolah penyebabnya, seperti yang dialami Nina.

Ini dibenarkan pengamat pendidikan Universitas Jakarta Dra. Suprayekti, M.Pd. Metode pengajaran yang diberikan guru umumnya kurang menarik minat anak. Kebanyakan sekolah dan guru menerapkan metode belajar yang lebih banyak membahas teori dari pada praktik. Padahal metode belajar langsung praktik diyakini membuat anak lebih mudah menyerap pelajaran, dan menikmati belajar.

Dalam mengajar, tambah Suprayekti, sebenarnya ada prinsip yang harus dipegang oleh guru. Sehingga metode belajar dengan pendekatan teori dan praktik tidak bisa diberikan secara serampangan pada murid. Sayangnya, banyak hal yang jadi penyebab sekolah lebih mengedepankan teori daripada praktik, walaupun seharusnya pelajaran itu lebih baik jika diajarkan secara praktik.

Dalam proses pengajaran, kata Suprayekti, seharusnya pihak sekolah dan guru melihat banyaknya materi yang akan diberikan. Kedua, pelajaran yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan anak SD. "Bidang studi yang diberikan harus bisa mengembangkan ketrampilan motorik, sosialisasi, fisik dan ketrampilan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Pengembangan ketrampilan motorik sering dilupakan, pelajaran seperti Pendidikan Jasmani dan Kesehatan diberikan secara teori, padaha isinya praktik seperti bagaimana berlari atau melompat dengan benar, dsb."

Kekurangan Metode Teori
Sampai saat ini, kata Suprayekti tidak ada satu pun metode belajar yang sesuai dengan anak SD. Pasalnya, masing-masing metode punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Padahal bila mengacu pada karakter anak usia SD, metode belajar yang cocok adalah belajar dengan beraktivitas. "Dalam metode ini, para siswa langsung mendapatkan pengalaman dari materi pelajaran yang diberikan. Misalnya saat belajar tentang gerhana matahari, sebaiknya siswa langsung diperlihatkan video terjadinya gerhana. Dengan begitu siswa lebih paham."

Jika diasumsikan, papar Suprayekti, semestinya perbandingan antara praktik dan teori 75% : 25%. "Tujuannya agar pemahaman siswa terhadap isi pelajaran lebih maksimal," tambah dosen yang pernah mengajar di beberapa SD. Penekanan penyampaian pelajaran melalui teori sebenarnya, kata Suprayekti, bisa berdampak buruk. Sebab Pehamaman murid terhadap materi pelajaran yang diberikan hanya sesaat. Bahkan murid sulit mencerna pelajaran, jikapun dipaksakan mereka lebih cepat lupa. Akibatnya hasil yang dicapai murid misalnya dari segi sosial dan ketrampilan tidak maksimal.

Walaupun efek negatif dari metode teori lebih banyak, tapi bukan berarti metode belajar teori sepenuhnya kurang baik. Banyaknya pemberian teori, tandas Suprayekti justru akan melatih siswa bertanggungjawab dalam mengelola waktu belajar, dan memacu agar mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih baik.

Begitupula melihat kecenderungan anak lebih mudah menyerap pelajaran lewat metode praktik, bukan berarti semua pelajaran harus diberikan dengan pendekatan praktik. "Semua harus dilihat dari bobot pelajaran serta jenisnya. Karena perbandingan antara praktik tiap pelajaran berbeda satu dengan lainnya, sehingga penyampaian pelajaran melalui teori tetap dibutuhkan," tandas Suprayekti.

Metode Pembelajaran Terpadu
Agar murid bisa menerima pelajaran lebih mudah dan lebih memahami, Gurupun seharusnya melakuan upaya alternatif. Salah satunya melalui metode pembelajaran terpadu. "Dalam metode ini, guru harus memadukan beberapa konsep dari setiap pelajaran dengan model tematik. Yakni, dalam penyajiannya, dikaitkan dengan konteks yang terdapat di lingkungan. Misalnya anak diajak untuk aktif mengalami secara langsung materi pelajaran yang diberikan gurunya."

Dosen yang lulus S2 tahun 1999 ini mencontohkan, misalnya untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), jika guru mengambil tema kesehatan seperti proses pencernaan makanan bisa dikaitkan dengan anatomi tubuh manusia. Dalam materi tersebut, guru bisa mengajak murid untuk mempraktikan bagaimana makanan tersebut diproses oleh tubuh. "Dengan metode alternatif tersebut, belajar jadi lebih efektif dan terjadi efisisensi waktu."

Lewat Permainan
Pelajaran yang disampaikan melalui permainan juga tak kan membosankan. Namun kata Suprayekti, perlu diingat, bahwa tidak semua materi pelajaran dapat dicapai melalui permainan. Misalnya dalam pelajaran sejarah, fakta-fakta sejarah bisa disampaikan melalui peran atau drama. Tapi untuk fakta mengenai mahluk hidup, akan sulit sekali jika disampaikan melalui permainan. Karenanya materi ini lebih efektif jika disampaikan melalui gambar atau model.

Andai sekolah si kecil lebih banyak menjelaskan pelajaran secara teori, sedangkan si kecil lebih mudah menyerap pelajaran dengan cara praktek, Anda tak perlu kecewa atau memendam marah. Selain mengajak bicara guru dan memberi masukan, orangtuapun berperan dalam membantu anak belajar. Yaitu dengan cara mengajak anak untuk mengulangi kembali materi pelajarannya yang didapat anaknya di sekolah. Untuk itu, orangtua harus mendampingi anaknya belajar. Orang tua juga harus responsif dan bisa membesarkan hati terhadap pengalaman yang diceritakan anak selama belajar di sekolah, dan hasil belajar yang dicapainya.

Agar Mudah Menerima Pelajaran
• Guru harus bisa menerjemahkan kurikulum ke dalam materi pelajaran dengan mengunakan pendekatan tematik.
• Cara menyampaikan pelajaran oleh guru harus bersifat aplikatif dan berorientasi siswa. Artinya siswa dikondisikan untuk lebih aktif.
• Proses belajar di kelas harus bisa mengarah pada suatu pengalaman belajar. Materi yang diberikan harus dihubungkan dengan situasi nyata di lingkungan sekitar siswa.